Tanya Jawab Seputar Manajemen Stres pada Ibu

Pekerjaan seorang ibu tidak ada habisnya. Belum selesai masak, anak-anak sudah ribut saling berebut mainan. Haduh, ibu stres! 

Manajemen Stres pada Ibu oleh Fina Febriani, M.Psi., Psikolog
Bunda Profesional, stres itu wajar dialami seorang ibu. Menurut Fina Febriani, M.Psi., Psikolog, stres tidak selamanya buruk. Dalam batasan tertentu, manusia butuh stres untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Simak tanya-jawab bersama Bunda Fina mengenai manajemen stres pada ibu, berikut ini:


Materi Manajemen Stres pada Ibu dapat dibaca di sini.

Sesi tanya-jawab:

Q1:  Helena‬
Kok bisa ya saat ibunya banyak pikiran, si anak jadi rewel. Itu nyambungnya gimana ya mbak Fina
A1:

Kalau dari beberapa referensi yang saya baca, emosi itu sebenarnya energi, Mbak. Dia mengalir, dan makanya bisa menular dari satu orang ke orang lain.
Mungkin kita pernah naik bus macet-macetan, trus sebangku sama orang yang sepanjang jalan ngomel panjang pendek. Kita yang tadinya santai, jadi ikutan bete dengan situasi itu.
Begitu pun ketika kita interaksi dengan anak. Ada yang mengatakan emosi orang tua-anak itu seperti cermin. Kalau yang satu tiba-tiba buruk, bisa cek yang satunya.
Saya pribadi kalau melihat orang tua saya lagi debat, bawaannya nggak nyaman. Makanya anak yang orang tuanya sering bertengkar umumnya nggak betah di rumah.

Q2: Harlina‬
mba apa ada hubungannya antara kehamilan dgn tingkat stres?apa hormon bs mempengaruhi naiknya tingkat stres juga?
A2:

Sepengetahuan saya bisa, Mbak. Makanya ibu hamil dan baru melahirkan suka tiba-tiba nangis sendiri, mudah tersinggung, dll.
Terkait nama-nama hormonnya, mungkin Bu Dokter dan Bu Bidan di sini bisa membantu. Saya tidak hapal.


Q2.1 Harlina‬
berarti agak normal ya mba, saya sejak hamil rasanya jd baperan, gampang emosi dll cara atasinya sama dengan yg diatas kah mba?
A2.1:

InsyaAllah normal, Mbak.
Cara release emosinya bisa dengan cara di atas.
Sama kalo saya, juga mengondisikan orang-orang sekitar, terutama suami. Pas mulai hamil, saya bilang, "Mungkin nanti saya akan marah-marah atau nangis-nangis nggak jelas. Ayah jangan anggap serius ya. Akan lebih baik kalo ayah menyiapkan bahu untuk bersandar." Wkwkwk.

Q3: Helena‬
Trus ada orang tua yang tega KDRT bahkan membunuh anak karena hal sepele. Ini bisa karena stres (?). Misal sebagai tetangga atau kerabat dekat, bagaimana mencegahnya?
A3:

Kalau untuk kasus2 seperti ini, iya awalnya berasal dari stres. Karena tidak ada dukungan sosial dan si ibu belum memiliki keterampilan mengelola stres, maka stres si ibu berkembang jadi masalah psikologis yang lebih berat, seperti depresi.
Cara bantunya bisa dengan beri dukungan sosial.
Biasanya sering terjadi di ibu yang baru melahirkan. Kondisi fisik yang belum nyaman ditambah pengaruh hormon, membuat ibu sensitif. Itu yang sering kita kenal dengan baby blues, yang kalau tidak didukung secara sosial, bisa berkembang jadi post partum depression yang bisa berakibat fatal.
Bantunya dengan beri dukungan sosial, Mbak. Misalnya ngeliat si ibu capek, bisa sesekali bawain makanan, dengerin dia curhat, dan yang terpenting: jangan menghakimi. Jika ada keputusan dia yang kita rasa kurang tepat dan mengasuh anak, sampaikan dengan cara yang haluuuus sekali.
Karena bagi ibu yang sensitif pasca melahirkan, kalimat "Gendong bayinya jangan gitu." yang diucapkan dengan intonasi neutral pun terdengar seperti "Nggak becus banget sih gendong anak!", terutama pada ibu baru.

Q4: Tasha
mba fina, kalo udah terlanjur marah sama si anak gimana mba buat ngatasinnya?
aku klo ke suami cenderung diem klo lagi marah, tp imbasnya kadang suka ke anak juga sih
A4:

Memang konflik dengan suami juga bisa sangat mempengaruhi sikap ibu ke anak, Mbak.
Itulah penting untuk kita belajar komunikasi produktif dan resolusi konflik dengan suami. :)
Minta maaf, Mbak.

Sebagai orang tua, tidak perlu segan bilang, "Maafin Bunda ya, Sayang. Bunda nggak sengaja tadi."
Kalau dia sudah senyum lagi, baru ibu dan ayah jelaskan kenapa tadi ibu dan ayah marah. Bukan karena tidak sayang, tapi karena tidak ingin si anak terkena bahaya misalnya.
Sering orang bilang jadi orang tua jangan minta maaf karena akan kelihatan lemah dan membuat anak tidak hormat. Saya tidak sepakat dengan itu. Orang tua juga ada kok yang durhaka, bukan cuma anak yang berpotensi durhaka.
Dan menurut saya, dengan kita meminta maaf, anak justru akan respek pada kita. Dan itu bisa jadi teladan yang baik: anak akan belajar untuk minta maaf juga ketika salah.
InsyaAllah meminta maaf akan mendekatkan kita juga dengan anak, Mbak. :)

Q5 Rika

mba @⁨Fina⁩  aku klo udh kecapean sharian trs mlm nya kurang tidur ngurus ank rewel misal..  siangnya jd sensian,suka ngedadak stress...
apakah ada hubungan nya kurang tdr sm emosi... ??
A5:

Ada, Mbak.
Penjelasan ilmiah lengkapnya Bu Dokter tentunya lebih hapal. Tapi saya sering mengalami ini. Saya sering error kalo kurang tidur, karena konsentrasi pasti berkurang.
Salah satu cara menghindari stres juga tidur cukup, Mbak. Cukup disini lebih ke arah tidur berkualitas, bukan tidur lama (karena mungkin emak-emak kurang punya waktu buat tidur lama, apalagi yang anaknya banyak).

Q6: Ami
kalau aku ngelola stresnya dg "zero mind process" Mbak Fina...Karena udah diterapin dari zaman ngantor dulu (thn 2005an) jadinya otak aku udah kayak otomatis gitu suka switch dengan sendirinya...bener gak tuh caraku Mbak Fina? Proses kembali ke titik nol, membersihkan pikiran mbak...seperti yg ada d link blog ini : http://pejuangtangguhperadaban.blogspot.co.id/2015/08/zero-mind-state.html
A6:
Punten saya malah belum pernah tahu, Mbak, tentang "zero mind process". Bisakah berbagi, Mbak Ami? :)
Hoo. Saya baru ngeh, Mbak. Belum pernah dipelajari di kampus. Tapi saya pribadi sepertinya pernah melakukan tanpa sadar dulu (waktu hampir telat masuk sekolah, komat kamit berharap gerbangnya masih buka). Dan alhamdulillah dikabul. Kalau Mbak Ami merasa cocok dengan cara ini, sah sah saja, Mbak, menurut saya. :)

Q7 Dewi Jak3:
Mba Fina saya pernah denger istilah mindfulness untuk mengelola stress, apa itu semacam memberi sugesti positif pd diri sendiri gt mba?
A7:
Saya kurang menguasai topik mindfulness ini. Tapi sepengetahuan saya, ini memang mirip meditasi untuk menenangkan diri. Dan konon memang bisa merelease stres. Kalau bagi muslim, mungkin akan lebih baik meditasinya dengan shalat yang khusyuk atau dzikir ya, Mbak.

Q8 Ninit:
Mba fina apakah tingkat stress seseorang itu bs di sebabkan dari faktor genetik?
A8:

Sejauh yang saya tahu, yang dipengaruhi genetik itu tingkat kecemasan seseorang, Mbak. Ada yang orang yang memang naturenya pencemas, ada yang tidak.
Kalau stres saya belum tahu (mungkin akan jadi PR buat saya ya biar banyak baca lagi). Tapi setahu saya, daya tahan orang terhadap suatu stressor dipengaruhi latar belakang keluarga, lingkungan, dll. Bagi orang yang hidup di daerah yang tenang, mungkin denger orang teriak atau berantem bisa bikin stres. Tapi bagi orang yang biasa hidup di wilayah yang kriminalitasnya tinggi, hal itu dianggap biasa.

Q9: Ninit
Mba fina.. Cemas itu berarti beda dengan stress ya...? Kalo cemas berlebihan bukanya itu sudah nyempet ke stress ya
A9:
Sebenarnya beda, Mbak. Stres cenderung lebih luas dari cemas. Cemas bisa mengarah ke stres. Tapi stres sendiri bisa mengandung emosi atau reaksi lainnya, seperti marah, sedih, kecewa, dll. Tapi benar bahwa cemas berlebihan bisa mengarah ke stres.


Q10 Dita:
Mbak fin aku dulu sempat ngalamin kejadian panik saat bayi masih kecil bgt. Setelah kejadian itu saya seperti dibayangi kematian. Dan setelah itu ada pikiran2 atau suara2 aneh yg rasanya datang tp tidak saya kehendaki. Apa itu baby blues atau depresi? Tp saya tetap terus menyusui anak saya dan tidak ingin menyakiti bayi.
A10:
Bisa jadi muncul karena efek kondisi psikologis yang tidak stabil, Mbak. Bisa jadi juga baby blues, tapi di level yang ringan. Tapi kalau tidak berdampak buruk ke orang-orang sekitar, alhamdulillah, berarti insyaAllah tidak masalah. Coba tenangkan pikiran dengan perbanyak ibadah saja, Mbak.


Q11 Arum:

Mba fina mau tanya ya...apakah sikap "cuek" efektif untuk menurunkan tingkat stress pd ibu?
Misal:
Cuek ktika ada tetangga yg usil...cuek ktika rumah brantakan,cuek ktika ada hal2 yg dluar ekspektasi kita...krn suami suka bilang,"bu kamu harus blajar cuek kalo ada yg ga sesuai dgn harapan,jgn terlalu dpikirin bgt nnt stress" gt mba
A11:

Mbak Arum:, saya pribadi kadang merasa suka begini. Daripada stres, biasanya saya memilih menulikan telinga untuk komentar komentar yang tidak membangun. Dan memang cukup efektif.
Kalau misalnya saya ingin mengambil keputusan yang masih tergolong antimainstream di keluarga saya, tapi saya tetap butuh dukungan, saya akan incar orang-orang tertentu yang saya anggap penting dan yang bisa saya kasih pengertian untuk saya briefing dulu tentang keputusan saya sebelum saya dilaksanakan. Jika mereka sudah bisa mengerti, maka bagi saya cukup, pendapat orang di luar itu tidak penting lagi bagi saya.
Misalnya ketika saya mau coba terapkan MPASI homemade buat anak. Saat itu saya putuskan yang paling saya butuhkan dukungannya adalah suami. Dan agar dia mau mendukung, dia harus dibriefing dulu tentang alasan saya memutuskan itu. Setelah dia sudah satu frekuensi, baru saya eksekusi. Dan benar, ketika orang sekeliling nyuruh saya beli mpasi instan, saya tidak terlalu ambil pusing lagi karena yang penting bagi saya: suami. Bahkan karena sudah sepaham, suami ikut belain ketika saya ditekan sana-sini.
Jadi, sikap cuek boleh saja, asalkan jangan sampai juga kita menutup diri dari masukan yang berharga.


Diskusi psikologi IIP Jakarta 02
Kamis, 16 November 2017
Notulis: Ardita Sofyani

Comments

Popular posts from this blog

Wanita-Wanita Di Balik Pembesar Dunia by Octa Raisa

Ecobrick, Menyulap Sampah Menjadi Berkah