Ada banyak
pikiran berkecamuk dalam benakku setiap kali mendengar teman atau sahabat yang
sedang mempersiapkan pernikahan. Kemudian muncul pertanyaan, sudah sejauh mana
persiapanku?
Sungguh, aku
selalu merasa takut menghadapi pernikahan karena ada sesuatu yang terus
menghantuiku. Hal itu membuat aku belajar lebih keras tentang bagaimana
mempersiapkan pernikahan yang ‘ideal’. Juga belajar tentang bagaimana ilmu
pengasuhan yang benar. Pada saat teman-teman seusiaku masih belum memikirkan
pernikahan atau bahkan masih asyik nongkrong di cafe dengan perbincangan khas anak muda, aku justru ikut kuliah daring di Institut Ibu Professional
(IIP) bersama para perempuan lainnya. Teman-temanku di IIP kebanyakan sudah
menikah, bahkan beberapa sudah memiliki anak. Semua proses belajar itu aku
lakukan demi mempersiapkan diri sebaik mungkin menghadapi pernikahan yang akan
kujalani di masa depan.
Banyak reaksi
yang kuterima ketika teman-teman atau sahabatku mengetahui hal tersebut. Ada
yang mendukung dan setuju dengan apa yang aku lakukan, tetapi tak jarang juga
ada yang heran atau bahkan tertawa mendengarnya.
Ah, sudahlah!
Mereka kan tidak tahu alasan sebenarnya aku ikut ini. Ah, sudahlah! Mereka
mungkin memang belum memikirkannya. Itu urusan mereka, bukan urusanku!
Lalu, mengapa
judul tulisan ini “Selesai dengan Diri Sendiri?” Jadi, begini ….
Awalnya aku
memiliki keluarga yang bahagia dan penuh kasih sayang hingga semua
kebahagiaanku tersebut terenggut dengan adanya pertengkaran demi pertengkaran
yang terjadi dalam rumah tangga kedua orang tuaku. Puncaknya, pada usia remaja
mereka berdua akhirnya bercerai.
Hatiku hancur
berkeping-keping rasanya menghadapi kenyataan itu. Aku harus menjadi salah satu
anak broken home yang sering dicap
negatif oleh orang di luar sana. Keluargaku tidak utuh lagi sehingga kami tidak
bisa melakukan aktivitas ‘normal’ seperti keluarga lainnya.
Setelah
perceraian itu, aku bebas dari suara-suara kemarahan atau nada-nada tinggi yang
menganggu telingaku. Namun, hatiku kosong. Apalagi, setiap kali melihat teman
atau sahabatku bisa berkumpul secara utuh dengan keluarganya. “Andaikan aku
juga bisa begitu,” batinku.
Setelah
kejadian ini, tak jarang aku merasa tak ingin menikah. Di sisi lain, aku pun
ingin membangun keluarga bahagia bersama suami dan anak-anakku kelak. Sungguh
keadaan yang dilematis.
Suatu hari, aku membaca sebuah artikel tentang
cerita kehidupan rumah tangga Ibu Septi dan Pak Dodik di sebuah media sosial.
Aku pun membatin, ingin sekali seperti mereka. Hari berganti, tahun pun
berlalu.
Takdir
membawaku untuk belajar di IIP dan beraktualisasi diri di sini. Sedikit demi
sedikit materi perkuliahan di IIP berhasil mengikis beberapa traumaku. Bahkan,
hubunganku dengan Mama yang sempat memburuk usai perceraian itu pun berangsur
membaik. Bahkan, penuh cinta kasih hingga saat ini, masyaAllah.
Aku pun
akhirnya memaafkan kedua orang tuaku dan menerima kenyataan bahwa perceraian
keduanya juga campur tangan Allah di dalamnya. Aku juga belajar dari kegagalan
orangtuaku di masa lalu agar tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa
depan. Apalagi, materi perkuliahan pra-Bunsay tentang selesai dengan diri
sendiri membuatku semakin yakin untuk terus melakukan healing secara menyeluruh demi ketenangan dan kedamaian hatiku
secara pribadi.
Alhamdulillah, aku
merasa ‘hampir’ selesai dengan diriku sendiri. Hingga aku dihadapkan pada
tantangan baru saat mendengar kabar perceraian kakak kandungku. Hatiku remuk
redam mendengarnya. Aku kembali mendapat trigger
dari kejadian itu dan kembali kepada ketakutanku yang justru semakin nyata dari
sebelumnya.
Aku terus
merasakan keresahan dan kegelisahan dalam diriku. Hal tersebut sangat
mengganggu aktivitasku, pikiranku menjadi tidak fokus. Belum lagi, di saat bersamaan
aku seperti menemukan puzzle demi puzzle menuju inner child-ku. Di titik
itu, aku pun merasa, “I need a professional help because I can’t handle it
by myself as usual.”
Pada situasi
itu, seorang teman mengajakku untuk ikut kelas akupresur di salah satu mal di
Jakarta. Di kelas itu, aku pun mengutarakan ketakutanku akan pernikahan karena
kejadian yang menimpa kedua orangtua dan juga kakak kandungku. Aku juga
bertanya bagaimana caranya untuk menemukan ‘sesuatu’ yang berkaitan dengan inner
child-ku? Sebab, aku ingin sebelum menikah aku sudah selesai dengan diriku
sendiri sehingga trauma ini tidak berdampak pada rumah tanggaku di masa depan.
Lantas
bagaimanakah jawaban dari pengampu kelas tersebut? Dia menjawab, “Fokuslah pada
ketakutanmu saat ini tentang pernikahan. Sedangkan untuk ‘sesuatu’ yang
berkaitan dengan inner child-mu when
you are ready, it will show you. Remember
that you have to accept your timing because healing is we work in process.”
Artinya, aku
tidak perlu berusaha keras untuk segera menemukan inner child-ku agar
aku bisa segera selesai dengan diriku sendiri. Mengapa? Sebab, setiap orang
punya waktunya masing-masing. Lagi pula, ketika aku siap, ‘sesuatu’ itu akan
menunjukkan diri. Jadi, aku harus menikmati setiap proses healing yang aku jalani.
Sebelum mengikuti
kelas itu aku berpikir, “Aku memang butuh teman-teman dan sahabat yang bisa
mendukung dan meyakinkan aku, bahwa aku bisa hidup bahagia di pernikahanku
nanti. Tapi, sepertinya yang aku butuhkan hanyalah laki-laki yang bisa meyakinkan
itu.”
Setelah mendapatkan
penjelasan dari pengampu kelas tersebut, aku pun berpikir, “Oh, tidak,
sepertinya aku tidak butuh laki-laki yang bisa meyakinkanku. Tapi, aku butuh
diriku sendiri untuk melakukannya.”
Tulisan ini
kupersembahkan kepada teman-teman yang tengah berjuang untuk "selesai
dengan dirinya sendiri". Apa pun tantangan yang sedang kalian hadapi,
ingat kalian tidak sendirian. Mari berjuang bersama!
Love,
Dandelion
Post Comment
Post a Comment