Selasa Seru: Serba-serbi Ibu di Ranah Domestik - Eva Pratiwi
Sebagaimana sudah dimulai sejak pekan lalu, Selasa kemarin grup Institut Ibu Profesional (IIP) Jakarta 01 menyelenggarakan Diskusi Seru Selasa. Kali ini temanya adalah Serba-serbi Ibu di Ranah Domestik maupun Publik, meskipun akhirnya lebih banyak cerita mengenai ranah domestik khususnya dari para anggota yang telah merasakan beralih sepenuhnya ke ranah domestik setelah sebelumnya sempat mencicipi ranah publik.
Anggota pertama yang berbagi pengalamannya adalah Eva Pratiwi. Berikut cerita yang Eva sampaikan di grup:
Sedikit sharing dari Eva tentang pengalaman hidup mandiri tanpa
bantuan orang tua dan asisten rumah tangga (ART) setelah 4 tahun menikah hidup bersama dengan
orang tua.
Mungkin sebagian
ibu-ibu lain juga merasa hal yang sama yaitu "bingung" harus memulai dari mana,
apa dulu yang harus dikerjakan, apa yang bisa ditunda dan segala macam
pekerjaan domestik yang sebelumnya selalu dibantu oleh orang tua dan ART.
Ya, dulu saya dan suami selama 4 tahun tinggal bersama nenek
(ibu dari mama saya, karena mama meninggal sejak saya kelas 1 SD dan entah bagaimana ceritanya saya dan kakak tinggal dengan nenek) dengan
status saya masih sebagai karyawati di sebuah perusahan swasta. Sejak
habis menikah memang saya tidak diizinkan untuk keluar dari rumah nenek. Hitung-hitung sembari menemani nenek, begitu keluarga besar menyampaikan. Alhamdulillah, suami pun setuju.
Karena saya dan suami bekerja maka demi membantu meringankan nenek mengurus rumah, saya putuskan untuk menyewa ART yang masih dari lingkungan keluarga. Jadi selama itu untuk urusan cucian, gosokan, nyapu, ngepel dsb yang berhubungan dengan rumah sudah beres dengan adanya ART. Sedangkan untuk urusan dapur alias masak-masak dibantu sama nenek. Saya paling hanya beberapa kali saja masak. Itu pun hanya untuk suami, karena nenek tidak cocok dengan masakan saya yang suka pedas.
Karena saya dan suami bekerja maka demi membantu meringankan nenek mengurus rumah, saya putuskan untuk menyewa ART yang masih dari lingkungan keluarga. Jadi selama itu untuk urusan cucian, gosokan, nyapu, ngepel dsb yang berhubungan dengan rumah sudah beres dengan adanya ART. Sedangkan untuk urusan dapur alias masak-masak dibantu sama nenek. Saya paling hanya beberapa kali saja masak. Itu pun hanya untuk suami, karena nenek tidak cocok dengan masakan saya yang suka pedas.
Singkat
cerita saat saya hamil anak kedua dengan usia kandungan 6 bulan, tiba-tiba ART yang juga mengasuh anak pertama kami minta
berhenti. Alasannya, karena merasa tidak enak hati pasca-operasi hematom si kakak
yang disebabkan oleh kelalaiannya. Padahal saya dan suami tidak pernah
menyalahkan dia, apalagi minta ganti rugi. Kami anggap insiden itu musibah.
Kami sempat memohon untuk bertahan setidaknya sampai anak kedua kami lahir, tapi dia tidak mau. Kami sudah coba mencari penggantinya, tapi sampai dede lahir tidak juga mendapatkan. Sempat kepikiran untuk men-daycare-kan anak-anak, namun suami tidak setuju.
Kami sempat memohon untuk bertahan setidaknya sampai anak kedua kami lahir, tapi dia tidak mau. Kami sudah coba mencari penggantinya, tapi sampai dede lahir tidak juga mendapatkan. Sempat kepikiran untuk men-daycare-kan anak-anak, namun suami tidak setuju.
Akhirnya, mau tidak mau, saya berniat resign demi anak-anak, dan memutuskan mengontrak rumah. Awalnya keluarga besar tidak menyetujui, termasuk ibu mertua. Namun, solusi selain itu tidak ada. Sedangkan waktu terus berjalan, jatah cuti bersalin saya pun segera habis. Dengan sedikit berat hati namun tetap berusaha yakin bahwa ini sudah menjadi jalan hidup saya, akhirnya saya resign. Dan setelah aqiqahan dede Umar kita pun pindah ke rumah kontrakan.
Babak baru dalam hidup saya pun dimulai. Jangan tanya apakah berat badan saya turun. Iyes, turun drastis, hampir 10 kg.
Yang
tadinya saya bangun tidur hanya menyiapkan sarapan untuk suami dan saya
bersiap-siap berangkat kerja, sekarang bangun tidur saya harus masak,
beberes rumah seperti nyapu, ngepel, nyuci baju dan setrika, belum lagi
kalau anak-anak bangun.
Awalnya saya merasa
kebingungan karena saya belum ketemu ritmenya. Suami pun sempat ikut
membantu karena tidak tega. Sebulan pertama saya browsing segala macam
tentang tata cara mengatur rumah tanpa ART dengan 2 balita, dan saya
langsung praktikkan.
Minggu pertama saya mulai
dengan bangun pukul 4 pagi dan usahakan tidur pukul 8 malam setiap harinya. Harapannya sih, antara pukul 4 pagi sampai 8 malam urusan domestik selesai. Namun
pada kenyataannya tidak seperti itu, karena ada bayi yang minum ASI-nya masih
belum menentu. Kadang terpaksa menyelesaikan urusan domestik yang belum
kelar setelah anak-anak tidur. Biasanya pukul 10 atau 11 malam saya baru
selesai dan bisa istirahat.
Apakah ini sehat? Tentu tidak, karena kurang tidur, bahkan saya sempat nge-drop. Lantas suami bilang, "Udah, untuk urusan cucian biar sama ayah, Ibu fokus saja sama anak-anak. Untuk gosokan nanti bisa dirapel saat ayah libur." Serasa ada angin segar, namun ternyata ada tantangan lainnya.
Tantangan pertama datang dari respon ibu mertua yang mengecap saya istri yang malas dan nggak becus mengurus suami.
Astaghfirullahal'adzim... sedih kah? Sedih banget...
Di
saat kita dalam keadaan yang sensitif karena baru saja meninggalkan
pekerjaan demi berbakti kepada suami yang notabene adalah anaknya tetapi
malah dicap seperti itu, ya Alloh ya Rabb... rasanya mau pulang terus
peluk nenek.
Tapi
pulang ke rumah nenek tidak akan menyelesaikan masalah, pikir saya saat itu. Lantas apa
yang saya lakukan? Ya cuek ajah, nggak mau ambil pusing. Saya anggap itu
angin lalu, masuk kuping kanan keluar kuping kiri, sesuai dengan arahan pak suami yang justru minta maaf atas reaksi ibunya. Saya disuruh fokus
pada manajemen waktu saja, bagaimana supaya semuanya bisa berjalan
sesuai yang saya inginkan. Mulai dari menge-list pekerjaan apa yang akan
saya lakukan hari per hari, dan membuat menu masakan untuk seminggu
pertama.
Masuk bulan kedua, saya sudah ketemu ritmenya, dimulai dari kebiasaan bobo dede Umar dan kakak Tisha.
Minggu pertama saya tidur 20.00 bangun 03.00 dengan rincian:
3-4 : Nyuci atau masak (saya nyuci saat suami masuk pagi dan malam, kalau suami masuk siang dia yang nyuci)
4-5 : mandi & me time with Alloh (kalau sedang halangan, baca buku)
5-6 : nyiapin sarapan
6-7 : nyapu dan ngepel (tentatif, kalau anak sudah bangun, ngepel dipangkas)
7-10 : sarapan dan full sama anak-anak
11-12 : maksi dan free time (kadang diisi untuk dagang)
12-13 : me time with Alloh
13-15 : boci sama anak-anak, tapi tentatif. Kadang kalau ada orderan ya packing karena pukul 16.00 biasanya di-pick up (oleh jasa pengiriman)
15-16 : mandi dan Ashar
16-17 : main sore, bisa muter-muter komplek, maen sepeda atau apa sajah
18-19 : ngaji time, biasanya dibablasin sampai Isya
19-20 : makan, lanjut siap-siap bobo
Lebih kurang
seperti itu. Apakah berjalan sampai sekarang, alhamdulillah tetap
berjalan walau ada penyesuaian di sana-sini karena aktivitas anak-anak pun
sudah berubah.
Sebenarnya untuk jam tidur waktu kerja dan tidak kerja hampir sama. Cuma yang berbeda rutinitas di pagi sampai malam harinya. Waktu masih kerja pukul 7 pagi saya berangkat dan sampai rumah pukul 8 malam, kadang saya pulang anak sudah tidur. Pada saat resign dan di rumah saja, waktu antara pukul 7 pagi sampai pukul 8 malam diisi dengan pekerjaan rumah yang bisa kita sesuaikan, mau dimulai dengan apa dulu.
Saya masih aktif di One Day One Juz (ODOJ), jadi diusahakan setiap ba'da sholat minimal tilawah 2 lembar. Alhamdulillah suami tahu akan hal itu. Pernah saya dikomplain sama mertua, sholat kok lama banget. Tapi sama pak suami disampaikan kalau saya setiap sholat pasti ngaji dulu.
Alhamdulillah juga punya suami yang tidak banyak menuntut dalam hal apa pun, dimasakin apa pun selalu dimakan tidak pernah komplain, dan mau berbagi tugas domestik. Termasuk bermain sama anak-anak. Sebelum memutuskan resign dan kami hidup mandiri tanpa ART, saya dan suami sudah membuat kesepakatan akan berbagi tugas, berkomunikasi apa yang tidak disuka, apa yang disuka, terutama suami yang keukeuh "Pokoknya untuk cuci pakaian ayah ajah, ibu fokus sama anak-anak", dan komunikasikan segala sesuatunya termasuk hal kecil sekalipun.
Sebaiknya memang komunikasikan apa pun dengan pasangan kita, sekalipun itu tentang ibunya atau mertua kita.
Ini komunikasinya lebih ke pengenalan pribadi saya sih supaya mertua
tidak salah persepsi. Bukan bermaksud minta dibela, tapi setidaknya
suami kita adalah sebaik-baik
penengah. Karena yang lebih tahu kita ya suami kita, pun sebaliknya yang
lebih tahu ibu mertua kita ya suami kita.
Untuk visi misi biasanya saya yang menyampaikannya saat beliau ada di rumah. Kebetulan ibu mertua menetap di Jawa. Kalau ke Jakarta paling hanya sekitar 10 harian aja. Itu pun nggak full di rumah saya, sebagian di rumah ipar saya. Dan berlapang dadalah atas ketidaksesuaian dengan ibu mertua, insyaAlloh hidup kita akan berkah dan Alloh akan tunjukan kebaikan dengan caranya.
Sebenarnya mertua saya baik, saya tidak pernah merasa gimana-gimana walaupun dia pernah mengecap saya. Alhamdulillah ke sininya dia melihat sendiri dan akhirnya minta maaf karena pernah bicara seperti itu di awal-awal kami membina rumah tangga.
Untuk visi misi biasanya saya yang menyampaikannya saat beliau ada di rumah. Kebetulan ibu mertua menetap di Jawa. Kalau ke Jakarta paling hanya sekitar 10 harian aja. Itu pun nggak full di rumah saya, sebagian di rumah ipar saya. Dan berlapang dadalah atas ketidaksesuaian dengan ibu mertua, insyaAlloh hidup kita akan berkah dan Alloh akan tunjukan kebaikan dengan caranya.
Sebenarnya mertua saya baik, saya tidak pernah merasa gimana-gimana walaupun dia pernah mengecap saya. Alhamdulillah ke sininya dia melihat sendiri dan akhirnya minta maaf karena pernah bicara seperti itu di awal-awal kami membina rumah tangga.
Untuk masak biasanya tinggal masak, karena sayurannya sudah disiangi saat free time. Sempat bingung masak apa aja tiap harinya, dan ini saya sampaikan ke suami. Suami bilang, "Ya kalau bingung mau masak apa, udah nggak usah masak. Beli aja."
Saya sempat jawab, "Nanti mbah (mertua) komplain, gimana?" Kata suami, "Ya tinggal bilang, 'Abis bingung, Mbah mau masak apa.'" Kadang saya pun suka bertanya ke mbah, "Masak apa ya, Mbah?" tapi mbah jawabnya ya terserah saya aja. Jadi ya sudah, saat saya ga masak dan beli masakan jadi, beliau nggak komen🏻.
Untuk
setrikaan saya utamakan pakaian kerja suami, dan itu digosok
seluruhnya. Sedangkan baju anak-anak dan baju sehari-hari hanya digosok
langsung bagian belakang. Karena bagian depan pasti kegosok saat kita
melipatnya, jadi daripada dua kali kerja. Kalau bagian depan digosok dulu
terus bagian belakang, nah ini cukup makan waktu kalau menurut saya sih. Kecuali baju yang depannya bersablon, nah itu tetap digosok tapi dari
dalam kemudian dibalik, langsung deh gosok bagian belakangnya🏻.
Tentang waktu sama anak-anak, ketika kakak jam sekolah maka kakak full kegiatan di sekolah, nah dede di rumah saya kasih mainan Hafiz Doll, kan banyak pilihannya tuh. Sejauh ini dede Umar selalu tidur siang, walaupun kadang waktunya ga melulu pas. Kadang lebih cepat atau malah mundur. Yang kadang nggak tidur siang malah kakaknya dan ini saya biarkan dia bermain, nanti kecapekan main dia akan tidur juga.
Intinya, kemantapan hati ibu harus dikuatkan. Percayalah, saat kita ridho atas qodrat kita yang sudah Alloh tentukan harus di rumah dan suami pun ridho dengan pilihan kita, insyaAlloh semua bisa berjalan dengan baik. InsyaAlloh dalam setiap kegiatan juga tidak pernah putus istighfar.
Sekian sharing dari saya🏻🏻.
Selasa, 23 Agustus 2017
Narasumber : Eva Pratiwi
Notulen : Leila Niwanda
Comments
Post a Comment