Selasa Seru: Serba-serbi Ibu di Ranah Domestik - Milfa Myllana
Anggota ketiga atau terakhir untuk Diskusi Seru Selasa grup whatsapp IIP Jakarta 01 22 Agustus 2017 adalah Milfa Myllana. Simak yuk, cerita Milfa.....
MENJAGA MOOD DAN KEBAHAGIAAN SEBAGAI IRT
Selamat malam.
Salam
kenal, saya Milfa. Ibu 2 anak yang keduanya masih TK. Saya sudah
menjadi IRT selama 6,5 tahun dan tidak sekalipun bosan dan berkeinginan
kembali bekerja kantoran
. Saya psikolog klinis dewasa, teman-teman seangkatan mah udah banyak yang terkenal sekarang.
PERSIAPAN SEBELUM MENJADI IRT
1. Siapkan motivasi yang benar
Lebih
baik lagi bila motif itu intrinsik (dari dalam diri), bukan ekstrinsik
(dari orang lain). Saya hingga usia 24 tahun sebenarnya bercita-cita
jadi psikolog TV atau trainer, apalagi waktu itu jalannya sudah terbuka
lebar. Niat ini berubah ketika saya menyusun tugas akhir S2, saya mengambil judul "Adaptasi Peran Ibu Bekerja yang Punya Anak Balita".
Hasilnya:
πΉMayoritas ibu bekerja merasa bersalah meninggalkan anak di rumah, terutama saat anak sakit.
πΉIbu bekerja dapat bekerja dengan tenang di luar rumah apabila ada keluarga
yang bisa membantu mengawasi anak di rumah misalnya ibu mertua atau ibu
kandung (nenek). PRT/ babysitter biasanya cenderung kurang memuaskan
sehingga opsi terbaik adalah dalam pengawasan keluarga.
Dari sini saya akhirnya berkeinginan jadi IRT bila sudah melahirkan anak.
Hal ini sejalan dengan pencarian calon suami yang juga menginginkan istri jadi IRT
.
2. Yakin bahwa rezeki istri dan anak dititipkan Allah lewat suami
Hal ini akan menumbuhkan sikap optimis mengenai angka-angka kebutuhan rumah tangga
.
3. Memelihara motivasi belajar dan membaca setiap waktu
Sebelum
menikah baca buku pernikahan, sebelum melahirkan baca buku cara
mengurus bayi, parenting, mengelola keuangan RT, dll. Ikut seminar dan
training yang topiknya menarik dan kita perlukan, sehingga tidak mudah panik atau salah informasi.
4. Bertanya pada orang yang tepat
Seringkali
ketika akan menghadapi suatu peristiwa baru, kita punya banyak
kekuatiran atau keingintahuan. Selain membaca, bila butuh testimoni,
bertanyalah pada orang yang tepat. Bukan yang menakut-nakuti, melainkan
bisa memaparkan segala sesuatunya baik positif maupun negatifnya
TIPS MENJADI IRT BAHAGIA
1. Bersyukur dan mendekatkan diri ke Allah
Selain ibadah, juga terus belajar agama dengan pengajian rutin.
Bersyukur juga salah satu kunci menjadi bahagia.
“Sesungguhnya jika kalian bersyukur, Kami pasti menambah (nikmat) kepada kalian.” (QS Ibrahim: 7)
Bagi nonmuslim, tentu menyesuaikan dengan tuntunan agamanya masing-masing.
2. Cari hobi/passion
Saya sendiri masih berganti-ganti hobi, sempat hobi masak, ganti baking, ganti jahit
. Setelah hobi menjahit saya jadi jarang keluar rumah alias makin betah di rumah. Saat anak-anak sekolah, saya bisa jahit
.
3. Bila ingin mencari uang, bisa dari rumah
Lebih indah lagi bila mencari uang lewat hobi. Saat ini saya terima orderan tas dan jualan buku anak-anak. Jauh "menyimpang" dari background dan profesi saat kuliah
. Nggak masalah, selama saya happy dan bisa mendampingi anak-anak setiap hari.
4. Miliki komunitas ngobrol dengan sahabat atau teman-teman dekat,
lebih bagus lagi bila sevisi dalam hal agama, jadi diskusi dan obrolan
lebih terarah dalam pedoman yang sama.
Saya punya komunitas
ngobrol isi 20 orang. Ini awalnya sesama ibu ASI, namun masih bertahan
dan sangat dekat saat ini. Isinya ada IRT dan ibu bekerja, kegiatannya sharing
resep dan info kajian, diskusi masalah sehari-hari dan lain-lainnya.
5. Terus belajar
Hehe,
sama dengan fase persiapan. Belajar sampai akhir hayat. Saat ini saya
sedang tertarik belajar sejarah Islam dan meyakini kita perlu belajar
sejarah untuk diambil ibroh-nya, bukan hanya sekedar tahu atau hapal.
6. Bila motivasi awal menjadi IRT adalah motivasi ekstrinsik, ubah motivasinya menjadi motivasi intrinsik
Misalnya: Mencari pahala dan berkah Allah bermodal ridho suami. Nah, menjaga motivasi beragama ini juga melalui kajian rutin. Makanya saya selalu mengajak ibu-ibu muslimah lainnya #yukNgaji. Indah banget muhasabah diri dan terus memperbaiki diri.
Bagi nonmuslim: misalnya demi mendampingi anak-anak pada usia golden age.
7. PD dengan pilihan sebagai IRT
Nggak usah nengok temen seangkatan sudah jadi apa. Mereka boleh jadi punya karier dan gaji sendiri, tapi kita juga punya banyak kebahagiaan di rumah bersama anak dan suami. Banyak belajar dan baca juga membantu mendongkrak self confidence, toh
. Mau diajak ngobrol apa pun juga nyambung.
------------------------------ -------
Saya masih menerima konsultasi via japri, kalau saya
masih bisa jawab ya saya jawab. Kalau ternyata mesti terapi ke psikolog
anak, saya akan refer ke psikolog anak karena saya bukan psikolog anak.
Btw,
saya juga berbahagia kalau ada yang japri dan konsul online, sehingga
skill saya sebagai psikolog masih terasah. Meski tidak menghasilkan uang,
tapi saya senang bila bisa membantu mengarahkan teman-teman mendapatkan
insight solusi masalahnya masing-masing
Alhamdulillah, bahagia itu sebenarnya sederhana. Nggak harus dengan jalan-jalan keluar negeri atau belanja tas branded 
.
Saya
yang dulu liberal (dulu saya finalis beauty pageant nasional), ogah
berjilbab, sekarang alhamdulillah menemukan indahnya terus belajar agama. Contohnya, kalau konflik sama suami, tinggal diskusi sama teman atau guru ngaji, trus sholat dan curhat sama Allah, deh, Sang Maha Segalanya. Coba curhatnya sama temen yang nggak paham agama, yang ada tambah panas dan dikompor-komporin
.
Alhamdulillah dari awal sampai sekarang jadi IRT nggak pakai galau
. Tapi belajar jalan terus, masih perlu banyak belajar dalam segala hal. Lah saya memang pengen dari diri sendiri, nggak peduli orang mau bilang apa
. Makanya saya sadar saya happy-happy aja
karena dari awal motivasi saya jadi IRT sifatnya intrinsik atau internal.
Background keluarga berpengaruh juga, lho. Kebetulan bapak mertua
dokter juga dengan ibu mertua IRT. Suami menimbang, karena dia sibuk,
nggak mungkin cari istri yang juga sibuk. Jadi dari suami maupun mertua
tidak ada komplain. Malahan
om suami yang ingatkan ke suami supaya saya resign saat hamil
besar, karena tiap hari saya nyetir sendiri jarak jauh Rawamangun-Cilandak-BSD. Katanya riskan di jalan 
Waktu saya menikah, kondisinya
ibu saya sudah meninggal sedangkan ayah saya paham istri bergantung
ridho suami, jadi nggak komplain juga. Komplain justru datang dari para
tante, "Sayang amat, udah S2." Atau teman-teman, "Yakin, lo mau jadi
IRT?" "Gak bosen, tuh? Bakal ngapain aja?"
Tambah
satu lagi, saya nggak dekat dengan ibu saya waktu kecil. Saya tidak mau
ini terjadi dengan anak-anak saya, makanya saya nggak akan goyah dengan
tekad jadi IRT.
Kecuali
mungkin suatu hari ada hal yang bener-bener memaksa untuk kembali
bekerja. Kalau cuma kebutuhan rumah tangga mah, berapapun insyaAllah
bisa
dicukup-cukupkan.
Kalau kita sudah bertekad, meski semesta tak mendukung, tidak akan mengubah niat. Apalagi ada komunitas yang saling mengingatkan. Manusia itu makhluk sosial, jadi tetap perlu social support. Bukan tergantung pada dorongan lingkungan, meski ya, dukungan positif akan menguatkan. Namun suara negatif juga insyaAllah tidak melemahkan.
Berkarya dengan latar belakang masing-masing, misalnya yang sebelumnya berbagi tadi mba Hafshah sebagai dokter (maupun bukan sebagai dokter) meski dari rumah, bisa lho. Misalnya menulis artikel, aktif di komunitas sosial, sharing tips seperti saat ini. Sekecil apa pun, selama bermanfaat untuk orang lain, maka tidak ada yang sia-sia di hadapan Allah.
Terkait ASI, misalnya. Saya mah bukan konselor laktasi, cuma belajar dari AFB/AIMI ASI
. Teman saya juga yang flat nipple, pas saya kunjungi saya jadi ala konselor laktasi deh, ngajarin dia posisi latch on yang bener
.
Masalah ASI itu benar-benar sifatnya psikis dan bergantung mindset. Selama bahagia, yakin cukup, ASI nya pasti cukup. Padahal saya nggak pake booster apa-apa. Payudara juga nggak kencang seperti awal-awal punya baby (newborn).
Yakin cukup. Indikator keberhasilan ASI adalah pertambahan berat badan
anak-anak, jadi ya terus ngeASI deh. Alhamdulillah kedua anak saya full ASI. Yang belum berhasil full ASI, coba lagi di anak berikutnya. Pasti bisa kecuali ada kelainan fisik pada saluran ASI nya
.
Namanya ortu, kalau ada cap ibu kejam atas usaha kita yang berbeda dengan pandangan mereka, termasuk soal menyusui, ya dimaklumi saja. Kita dibilang tega karena tidak mau kasih dot, ya padahal kalau keenakan pakai dot juga risiko ke pemberian ASI, kan. Seperti cerita mba Kartini yang bayinya sempat nursing strike atau bingung puting, ibunya resign dan mengalami baby blues. Dari yang awalnya kasih dot untuk memberikan hasil perahan karena ASI susah keluar, akibatnya bayi jadi enggan menyusu langsung. Sudah diupayakan menyusu langsung lagi, tetapi dalam perjuangannya malah seperti ditentang orang tua meski akhirnya berhasil mengusir bingung puting. Baby blues bisa jadi sangat wajar, yang penting ada social support, dan juga perlu banyak baca supaya nggak sampai ke fase cemas apalagi depresi.
Orang tua juga ingin yang terbaik buat kita, anaknya, tapi menurut pandangan
mereka. Kitanya yang harus sabar menghadapi, meski 'jleb' dengan
komentar ortu
. Toh sebagai manusia dewasa, the choice is mine/ours. Kita yang memilih/decide,
kitalah yang akan menjalankan dan bertanggung jawab dengan
pilihan-pilihan kita, bukan orang tua kita. Nah, anak juga perlu dilatih
decision making skill sejak kecil lho ya. Jadi semakin nambah
usianya, juga mampu bikin keputusan-keputusan sendiri. Jangan nanya
ortunya terus. #parentingTips
Pengasuhan masa lalu akan mempengaruhi pola asuh kita saat ini. Apalagi masih tinggal dengan ortu
. Diputus dulu wiring-nya. Kalau ada trauma atau unsolved problem, diselesaikan dulu. Karena kalau ada yang unsolved/unfinished hal itu tetap mempengaruhi psikis kita hari ini, khususnya dalam menjadi orang tua.
Dengan adanya
risiko perbedaan pandangan, bagusnya sih pisah rumah meskipun cuma
sebelah rumah orangtua. Satu nggak bisa ada dua ratu atau dua aturan.
Kecuali ada pertimbangan lain.
Dengan kejenuhan itu energinya berarti mesti disalurkan, misalnya ikut kegiatan
Komite Sekolah, olahraga, kegiatan sosial bantu Sejuta Cinta IIP, menulis artikel lepas di majalah, dll. Banyak opsi, selama diridhoi suami
.
Kalau capek dengan urusan domestik lalu ujungnya ngomelin suami? Wah, suaminya
jangan diomel-omelin, atuh. Di luar rumah, suaminya punya bawahan rapi,
nurut, bersih, wangi. Di rumah ketemu istri pake daster, kadang belum
mandi, bawel lagi
.
Ada yang bilang merasa kewalahan dengan kerjaan domestik, ini di rumah ada ART kah? Bila tidak ada, apakah tidak mau atau tidak nemu yang cocok? Kalau saya mudah lelah ketika ART pulang, ini bisa jadi pencetus emosi negatif saya. Jadinya kalau ART lagi pulang saya kerjakan yang prioritas saja supaya nggak kelelahan dan mood jadi jelek dalam menghadapi anak-anak.
Selasa, 23 Agustus 2017
Narasumber : Milfa Myllana
Notulen : Leila Niwanda
Selasa, 23 Agustus 2017
Narasumber : Milfa Myllana
Notulen : Leila Niwanda
Comments
Post a Comment