Kemerdekaan yang HQQ by Anggit Dina Vyatra (Andina Hariadi)
“MERDEKA ATAU MATI!!!”
Begitulah semboyan para pejuang negeri ini saat maju berperang
bersenjatakan bambu runcing melawan penjajah. Itu dulu. Seluruh tetes darah dan
keringat para pahlawan berbuah manis dengan pembacaan Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia oleh pasangan presiden dan wakil presiden pertama, Ir. Soekarno dan
Mohammad Hatta.
Merdeka dalam konteks bernegara tentunya berbeda dengan dalam beragama.
Ingat Bilal bin Rabah Radhiyallahu’Anhu? Yang langkah kakinya sudah terdengar
di dalam surga, ketika Rasulullah Shalallahu’Alayhi Wa Sallam melakukan
perjalanan istimewa Isra’Mi’raj? Dialah Bilal, seorang budak, yang dibeli
kebebasannya oleh Abu Bakar Radhiyallahu’Anhu. Dalam beberapa ayat Al Qur’an,
disebutkan bahwa memerdekakan budak adalah hal yang mulia, bahkan bisa menjadi
kafarat (penebus) dosa tertentu.
Hmmm ... sebetulnya, apa sih, arti “MERDEKA”?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, begini maknanya:
- a bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya); berdiri sendiri: sejak proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 itu, bangsa kita sudah --
- a tidak terkena atau lepas dari tuntutan: -- dari tuntutan penjara seumur hidup
- a tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu; leluasa:majalah mingguan --; boleh berbuat dengan --
Apabila disimpulkan dengan sederhana, merdeka berarti bebas, tidak
terkekang, tidak ada yang mengikat. Mari kita berikan stabilo tebal pada “bebas
dari perhambaan”.
Pertanyaan besarnya, apakah kita sudah benar-benar
merdeka?
Pada dasarnya, setiap manusia adalah individu yang merdeka. Bahkan Allah
memberikan kemerdekaan bagi tiap insan, dengan anugerah berupa akal pikiran,
dan dibebaskan memilih jalan yang akan ditempuh. Tentunya kebebasan ini tetap
ada term and condition, alias syarat dan ketentuan berlaku. “Bebas asal
sesuai syariat Allah.” WAJIB IKUT ATURAN. Kalau sudah taat tata tertib,
hadiahnya juga bukan kaleng-kaleng. Reward sudah disiapkan berupa surga. Siapa
sih, yang enggak mau masuk surga? Yang di dalamnya hanya ada kebahagiaan, tidak
ada kesedihan, kesusahan, dan iri dengki. Jackpotnya, bisa memandang wajah
Allah. Bohong lah, kalau bilang tidak mau.
Kita adalah BUDAK!
![]() |
Photo Credit The Independent
|
Problemnya, kita sebagai khalifah di muka bumi ini, seringkali lali.
Alias lupa. Bahwa kemerdekaan bagi kita sebagai umat adalah bebas dari lilitan
hawa nafsu duniawi. Kenyataannya, kita masih menjadi budak dunia.
![]() |
Photo Credit to Owner
|
Hal yang paling sederhana, di jaman modern ini, kita menjadi budak sebuah
benda kecil yang mampu menembus ruang dan waktu, si mungil yang selalu berada
dalam genggaman, yaitu smartphone. Alat berukuran 7 inci ini seringkali
mengikat jemari, mata, dan hati kita untuk terus menatapnya, membelainya, yang
kalau sejam tidak bertemu, rasanya hidup ini terasa hampa. Sehingga membuat
kita terlena, terpesona, kemudian pada akhirnya melalaikan dari waktu dan
mungkin tanggungjawab lainnya karena terlalu asik memandang si imut yang pintar
luar biasa. Habis wudhu, cek handphone dulu. Pergi haji, cekrek upload
ke media sosial dengan kata-kata bijak. Artinya kita masih menjadi hamba
handphone!!!
Bukti lainnya bahwa kita masih menjadi budak dunia adalah kesibukan luar
biasa mengumpulkan harta, menyimpannya, dan membelanjakannya dengan cara yang
bathil. Kerja keras bagai kuda pagi, siang, sore, malam, sampai ketemu pagi
lagi, hanya untuk mengejar rupiah. Tidak jarang sampai lalai shalat di awal
waktu. Rela meninggalkan shalat hanya karena rapat yang sangat lama hingga
melewatkan waktu shalat. Setiap manusia kemudian bersaing siapa yang lebih
banyak uangnya, lebih tinggi jabatannya, lebih bagus mobilnya, lebih banyak cap
imigrasi di paspornya, memberikan uang suap untuk mendapatkan Surat Izin
Mengemudi (SIM), atau untuk memuluskan suatu proyek, menunjukkan kita telah
menjadi kerbau yang dicucuk hidungnya. Belum lagi kekuatan kartu plastik yang
memudahkan membeli ini itu tanpa harus membayar di waktu yang sama. Membeli
barang di luar kemampuan, dengan satu kata sakti, “cicilan”. Kita telah menjadi
hamba dunia.
![]() |
Photo Credit to Owner
|
Terpampang secara nyata bahwa kita belum merdeka. Kita masih belum bisa
membebaskan diri dari ikatan mematikan yang disebut HAWA NAFSU. Tanpa disadari,
kita telah menjadi hambanya yang setia. Melupakan esensi utama tugas manusia,
yaitu untuk beribadah kepada Allah (QS. Adz-Dzariyat : 56).
Kemerdekaan yang Hakiki
![]() |
Illustration Credit KELZ
|
Apa sebenarnya yang menjadikan kita merdeka? Jawabannya sederhana, yaitu
menjadi umat yang tidak terpasung dengan keinginan semu duniawi. Umat yang
merdeka artinya hatinya merdeka, imannya merdeka. Bebas beribadah kapan saja,
di mana saja. Bebas menjalankan syariat di mana saja, kapan saja.
Tidak lagi takut tidak mendapat pekerjaan hanya karena menjalankan perintah
Allah untuk berjilbab. Tidak menghabiskan waktu berjam-jam untuk berselancar di
dunia maya dengan gadget yang canggih, yang telah mengalihkan perhatian
kita dari nikmatnya membaca dan menghafal Al Qur’an. Tidak lagi takut dengan
penggolongan strata sosial akibat tidak memiliki rumah sebagus dan semewah peer
group karena taat untuk menghindari riba. Tidak merasa takut kehilangan
pekerjaan karena menjalankan shalat fardhu di awal waktu, karena sesungguhnya
rejeki datangnya dari Allah, bukan dari pak boss direktur. Tidak ada rasa ingin
menyalahkan orang lain atas terjadinya hal buruk pada dirinya, karena
sesungguhnya dia merdeka untuk mengimani takdir Allah.
Orang yang merdeka akan lebih tenang. Tidak ada rasa iri dengki dalam
hatinya, tidak mudah marah, dan selalu berbaik sangka. Tidak pula khawatir
jatuh miskin bila harus berbagi.
Ingatkah bagaimana Rasulullah Shalallahu’Alayhi Wa Sallam beperang melawan
kaum kuffar untuk memperjuangkan kemerdekaan beragama Islam dan beribadah
kepada Allah? Bagaimana kafir Quraisy memboikot untuk tidak bermuamalah dengan
umat Islam? Saat itu begitu terjajah. Tidak merdeka beragama, sehingga harus
berhijrah ke Madinah. Bila kembali lagi ke kisah Bilal bin Rabah
Radhiyallahu’Anhu, yang Islamnya terkungkung ketika dia menjadi budak. Begitu
Abu Bakar membebaskannya menjadi manusia merdeka, Bilal akhirnya bisa beragama
Islam dan beribadah menyembah Allah dengan merdeka. Bebas, tidak terikat dengan
aturan manusia, merdeka mengikuti kemanapun Rasulullah Shalallahu’Alayhi Wa
Sallam pergi.
Kita harus menguatkan niat berjuang untuk bisa menjadi umat yang merdeka!
Yang bebas dari standar yang diciptakan manusia dan mulai menjadikan setiap
langkah kita sesuai dengan standar yang diperintahkan Allah, karena kita adalah
hamba Allah. Fokus pada garis akhir. SURGA.
LET’S BREAK FREE!!!
![]() |
Photo Courtesy of David
De La Morenas
|
Betuuuulll titik akhirnya memang surga, klo kita tanya pada diri kita esensi kemerdekaan pasti akan bingung. Lha wong pak karno aja udah merdeka malah dipenjara. Hehehe
ReplyDelete